Senin, 20 April 2015
Rabu, 08 April 2015
TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI-2
NAMA : AEN NURAENI
KELAS : 2EA08
ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
1.
Sebutkan
dan jelaskan 10 yang menyebabkan batalnya perikatan.
2.
Buatlah
draf perjanjian ( kita sebagai pihak pertamanya dengan pihak lain sebagai pihak
ke-2
Hapusnya
Suatu Perikatan
Pasal 1381 KUHPer menyebutkan
sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
1.
Pembayaran;
2.
Penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan;
3.
Pembaharuan utang;
4.
Perjumpaan utang atau
kompensasi;
5.
Pencampuran utang;
6.
Pembebasan utang;
7.
Musnahnya barang yang
terutang;
8.
Batal/pembatalan;
9.
Berlakunya suatu syarat batal
dan
10.
Lewatnya waktu (Daluawarsa).
Selain cara-cara di atas, ada
cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya : berakhirnya suatu ketetapan
waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa
macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian
firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat
dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.
1. Pembayaran.
Dengan “pembayaran” dimaksudkan
setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar suatu utang,
bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan berutang dan seorang
penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa suatu perikatan
dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan,
asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi
utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia
tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah, perlu orang
yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa
memindahtangankannya.
Pembayaran harus dilakukan kepada si
berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga
kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh UU untuk menerima
pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.
2. Penawaran pembayaran tunai
diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus
dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah
sebagai berikut :
1.
Barang atau uang yang akan
dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru
sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana akan
dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah
diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses
perbal.
2.
Apabila kreditur suka menerima
barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran
itu.
3.
Apabila kreditur menolak, maka
notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses perbal
tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan
dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat proses perbal tersebut. Dengan
demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak
pembayaran.
4.
Langkah berikutnya: Debitur di
muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya
pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu.
5.
Setelah itu, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah hapus. Barang atau uang
tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas
tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah bebas dari
utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran
pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.
3. Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3
macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
1.
Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang
menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Disebut dengan novasi
objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
2.
Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang
dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif karena yang
diganti adalah debiturnya;
3.
Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur
lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut sebagai
novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah krediturnya.
4. Perjumpaan utang atau
kompensasi
Merupakan cara penghapusan utang
dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal
balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang satu pada
yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Perjumpaan tersebut terjadi demi
hukum
Agar dua utang dapat diperjumpakan,
perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan
seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau
barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras
kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak
dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu telah
lahir, terkecuali:
1.
Apabila dituntutnya pengembalian
suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari
pemiliknya;
2.
Apabila dituntutnya pengembalian
barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
3.
Terdapat sesuatu utang yang
bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
Jadi ketentuan di atas merupakan
larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.
6. Pencampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang
berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang,
maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris
tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu
persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal pencampuran ini, adalah
betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran utang yang terjadi pada
dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya
(“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang
tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
7. Pembebasan utang
Apabila si berpiutang dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu
hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan.
Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan,
misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si
berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik
dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang
telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak
suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara pembebasan utang
dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan utang tidak
menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan
perikatan, dan dengan suatu
pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian
meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang menerima hibah
dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari
pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang terutang Jika
barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang
itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang
di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8. Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian yang
kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan
pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh
pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan
atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan
syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
·
Pertama, secara aktif menuntut
pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
·
Kedua, secara pembelaan, yaitu
menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di situlah
baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif diberi
batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak
diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh
Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan,
karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan
yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta
pembatalan.
Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi
Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata
antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang
satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat
secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.
9. Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu
perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan
dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang
kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau
dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang
terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya
suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian.
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si
berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya pembatalan itu hanyalah suatu
pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.
10. Lewat waktu (Daluwarsa)
Menurut pasal 1946 KUHPer, yang
dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu
dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik
atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”, sedangkan daluwarsa
untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa
“extinctif”.
Menurut pasal 1967, segala tuntutan
hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus
karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang
menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,
lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di
atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas”
artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur
jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan
tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak
atau menangkis setiap tuntutan.
SURAT
PERJANJIAN JUAL BELI
Yang
bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : Aen Nuraeni
Umur : 19 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat
saat ini : Jl.Industri No. 19
RT 05/01 Kp. Tonggoh Desa Gunungsari Kec. Citeureup Kab. Bogor 16810
Untuk
selanjutnya disebut pihak ke I (penjual).
Nama : Nur Annisa Deviana
Umur
: 25 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat
saat ini : Jl.
Mawar No.02 RT 01/01 Desa Sukamanah Kec. Jatinangor Kab. Sumedang
Untuk
selanjutnya disebut pihak ke II (pembeli)
Pada
tanggal 03 April 2015 pihak ke I. Telah menjual, lepas/mutlak sebidang tanah
darat seluas 358 M2, berikut sebuah bangunan yang terletak diatas tanah
tersebut kepada pihak ke II dengan harga tunai Rp. 400.000.000,- (empat ratus
juta rupiah). Pembayaran dilakukan dihadapan saksi-saksi dengan tunai.
Batas-batas
tanah tersebut adalah sebagai berikut :
Sebelah
barat : Berbatasan dengan tanah Budi Rahman
Sebelah
timur : Berbatasan dengan tanah Muhammad Rafly
Sebelah
utara : Berbatasan dengan sungai
Sebelah
selatan : Berbatasan dengan tanah Rizka
Bangunan
terdiri dari :
Ukuran
panjang dan lebar : 600 M2
Atap
: Genteng
Dinding
: Tembok
Lantai
: Keramik marmer
Maka,
sejak tanggal 03 April 2015 Tanah bangunan tersebut di atas telah menjadi hak
milik pihak ke II. Pada waktu pelaksanaan jual beli tanah tersebut baik pihak
ke I (penjual) maupun pihak ke II (pembeli) juga saksi-saksi semuanya meyatakan
satu sama lain dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani, dan segala
sesuatu dengan itikad baik.
Pasal
1
1.
Perjanjian jual beli ini akan
berlaku 3 (tiga) hari setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan akan
berakhir setelah rumah berpindah status kepemilikannya kepada pembeli yang
baru.
2.
Segala kondisi yang ada pada rumah
saat ini akan menjadi tanggung jawab dari Pihak Kedua (Pembeli). Dan Pihak
Kedua (Pembeli) berhak untuk melakukan renovasi terhadap rumah tersebut.
Pasal
2
1.
Bangunan rumah dan tanah
seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi)
tersebut dijual seharga Rp 550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah).
2.
Pihak Kedua (Pembeli) membayar
dengan uang muka sebesar Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) pada Pihak
Pertama (Penjual) secara tunai pada saat ditandatanganinya perjanjian ini.
3.
Kekurangannya senilai Rp.
150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak Kedua
(Pembeli) dengan cara mengangsur selama 10 (sepuluh) kali selama 10 (sepuluh)
bulan. Dan tiap bulan Pihak Kedua (Pembeli) wajib membayar angsuran senilai Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) pada Pihak Pertama (Penjual).
4.
Dan pembayaran dianggap lunas bila
pembayaran sudah mencapai nilai jual yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak.
Pasal
3
1.
Segala ketentuan yang belum diatur
dalam perjanjian ini akan diatur selanjutnya dalam addendum/amandemen yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian ini dan akan diputuskan secara
bersama
2.
Apabila suatu saat nanti terjadi
sengketa terhadap isi dan pelaksanaan atas perjanjian ini, maka kedua belah
pihak akan menyelesaikannya secara musyawarah
3.
Dan apabila penyelesaian secara
musyawarah tidak berhasil, maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih
menyerahkan pada pihak yang berwajib.
Demikian,
setelah keterangan isi jual beli ini dimengerti oleh pihak ke I dan pihak ke
II, juga saksi-saksi, maka ditanda tanganilah sebagai permulaan saat pemindahan
hak milik pihak ke I kepada pihak ke II.
Bogor,
03 April 2015
Tanda tangan masing-masing
Pihak Ke I (Penjual)
Pihak Ke II (Pembeli)
Aen Nuraeni Nur Annisa Deviana
Saksi-saksi
Saksi Ke I Saksi
Ke II Saksi
Ke III
Budi Rahman
Muhammad Rafly Rizka
Langganan:
Postingan (Atom)